Senin, 18 Mei 2009

Jerry Duane Gray, Tersentuh Sikap Toleran

By Republika Newsroom
Minggu, 17 Mei 2009 pukul 23:20:00

Jerry Duane Gray, Tersentuh Sikap Toleran

'Agama kekerasan', itulah citra negatif yang disematkan sebagian kalangan warga Barat terhadap Islam. Persepsi ini pula yang pada awalnya hinggap di benak Jerry Duane Gray ketika dia masih tinggal di Amerika Serikat (AS) dan bekerja di Angkatan Udara AS.

Dengan alasan ini pula, pria kelahiran Wiesbaden, Jerman, itu sempat mengemukakan keberatan ketika harus bertugas di Arab Saudi. Dia enggan masuk ke negara kerajaan itu karena takut terhadap orang Arab dan Islam.

Tapi, tugas tetap harus dilaksanakan. Maka, berangkatkah Jerry ke Timur Tengah sekitar tahun 1982. Dia menjadi mekanik pesawat AU AS serta instruktur di New Saudi Mechanics.

Di antara pesawat yang ditanganinya itu, terdapat pesawat pribadi Raja Fahd. Karena profesionalitas dan dedikasinya sebagai mekanik handal, Jerry pernah menerima surat dari raja sebagai bentuk pujian serta penghargaan.

Meski demikian, masih ada kekhawatiran dalam dirinya, khususnya terhadap kekerasan yang mungkin terjadi. Hari-hari awalnya bertugas di Arab Saudi pun terus dibayangi kegelisahan ini.

Akan tetapi, setelah sekian lama, apa yang dia risaukan tak pernah muncul. Justru, keadaan tenteram melingkupi suasana kerjanya dan juga di lingkungan tempat dia tinggal.

Jerry bahkan mendapati kenyataan lain dari sikap umat Islam. Dalam benaknya, orang-orang Islam sangat jauh dari kesan teroris dan kekerasan. Sebaliknya, mereka begitu toleran, cinta Tuhan, dan taat menjalankan ibadah.

Satu hal yang membuat Jerry takjub adalah kumandang azan yang bergema lima kali dalam sehari. Kumandang azan itu membuat umat Muslim segera memenuhi panggilan-Nya untuk melaksanakan shalat fardhu. Apa pun kegiatan dan aktivitas yang sedang dilakukan langsung ditinggalkan. Mereka seolah tak menghiraukan jam sibuk atau saat masih ada pelanggan toko yang hendak berbelanja. Shalat harus tepat waktu.

''Sungguh luar biasa. Baru pertama kali saya menyaksikan keimanan yang seperti ini,'' kenang Jerry saat berbicara pada acara diskusi bukunya yang berjudul Deadly Mist: Upaya Amerika Merusak Kesehatan Manusia di sebuah toko buku di Kota Depok, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.

Pernah suatu waktu, dia hendak berbelanja di sebuah toko emas di Jeddah. Namun, sang pemilik tidak ada di tokonya lantaran sedang shalat. Jerry menunggu di luar, tak berani masuk ke dalam.

''Mengapa Anda tidak masuk ke toko saya?'' tanya si pemilik toko ketika selesai shalat. ''Saya tidak berani. Nanti, ada yang mengira saya maling dan dapat hukuman yang berat,'' jawab Jerry.

Dengan tenang, orang Arab ini menjawab, ''Semua barang tersebut bukan milik saya. Ini semua kepunyaan Allah SWT. Mungkin saja Anda lebih perlu dari saya.'' Bertambahlah ketakjuban Jerry.

Sejak itu, timbul rasa ingin tahunya terhadap agama Islam. Dia mulai berani bertanya tentang Islam kepada rekan-rekannya yang Muslim.

Hatinya kian tersentuh manakala suatu hari seorang kenalannya yang berasal dari Yaman membawakan terjemahan kitab suci Alquran berbahasa Inggris. Alquran itu segera dibacanya. ''Ketika selesai membaca satu ayat, saya lupa nama ayatnya, tanpa sadar saya meneteskan air mata,'' papar dia.

Ia pun melanjutkan membaca Alquran. Tak lebih dari lima ayat setelahnya, Jerry pun percaya kebenaran yang tertulis dalam Alquran. Meski begitu, dia belum berkeinginan memeluk agama Islam.

Tahun 1984, Jerry meninggalkan Jeddah. Tujuan berikutnya adalah Jakarta dan di sini dia bekerja sebagai instruktur selam. Ini adalah keterampilannya yang lain karena Jerry telah menerima sertifikat PAD, instruktur selam internasional, pada tahun 1978.

Selain menjadi instruktur, dia sekaligus mengembangkan foto-foto bawah air dan juga video. Hasilnya lantas ditayangkan oleh sejumlah stasiun televisi terkemuka.

Berada di negara dengan umat Muslim terbesar di dunia kembali mendekatkannya dengan agama Islam. Maka, tak heran, pada suatu saat, seorang rekannya mengenalkannya dengan seorang guru agama.

Pada hari itu, Jerry sebenarnya sudah ingin memeluk Islam, tapi dia belum berani mengungkapkannya. Sang guru agama memaklumi. Namun, dia meminta Jerry untuk ikut mendengarkan ceramah serta pengajian di kediamannya.

Hari berikutnya, setelah mengikuti kegiatan agama, hatinya berkecamuk. Begitu sampai di rumah, dia langsung masuk ke kamar dan membaca kembali Alquran terjemahan yang dulu diberikan rekannya di Arab Saudi.

Dan, subhanallah, hidayah itu datang. Jerry pun memantapkan diri memeluk agama Islam. Seorang diri, dia bersyahadat dengan menggunakan bahasa Inggris.

Maka, hari berikutnya, dia tak tahan lagi. Kepada sang guru agama, dia mengutarakan keinginannya untuk masuk Islam. ''Langsung ustaz ini berdiri dan berseru alhamdulillah,'' ujarnya.

Mengungkap Tragedi 11 September

Dengan sudah menjadi seorang Muslim, dia memutuskan menetap di Indonesia. Selain terus menekuni profesi instruktur selam, Jerry juga sempat menjadi jurnalis. Tepatnya di tahun 90-an, jaringan televisi CNBC Asia mengontraknya sebagai juru kamera. Salah satu momen yang sempat diabadikan adalah peristiwa Mei 1998.

Ada kelebihan tersendiri menjadi seorang jurnalis. Dirinya semakin kritis. Lewat penelusuran di internet, koran, majalah, dan lainnya, banyak informasi yang bisa diketahui untuk selanjutnya ditelaah dan dianalisis sebagai sebuah rangkaian fakta.

Inilah yang dia alami pada malam 11 September 2001. Jerry ingat betul, saat itu, dia sedang berinternet. Mendadak, telepon rumahnya berdering. Saat diangkat, di ujung telepon sana terdengar pekik suara, ''Cepat! Hidupkan televisimu sekarang.''

Suara panik itu adalah milik ibundanya yang berada di AS. Dengan tidak berpikir panjang, dia langsung menyalakan televisi. Jerry pun tercengang.

Pemandangan yang disaksikan membuatnya seolah tak percaya. Ada kejadian luar biasa di New York, suasana menegangkan usai menara kembar World Trade Center (WTC) dihantam pesawat udara.

Seketika, perhatian dunia tertuju kepada Big Apple (julukan New York). Perhatian pun kemudian beralih kepada komunitas Muslim usai hasil investigasi pihak berwenang AS yang menemukan keterlibatan kelompok militan asal Timur Tengah.

Umat Islam segera menjadi objek pemberitaan media Barat yang cenderung menyudutkan. Islamofobia marak, terutama di kalangan warga di AS, Eropa, dan belahan dunia lain. Kondisi ini membuat Jerry terenyuh.

Tak ingin sekadar berpangku tangan, suami dari Ratna Komala ini segera melakukan observasi dan penelusuran kepustakaan. Berita, gambar, atau informasi faktual di internet dan media massa dikumpulkan. Di situlah, dia banyak menemukan kejanggalan terhadap peristiwa 11 September.

Salah satu kecurigaannya, mengapa begitu cepatnya sebuah jaringan televisi AS terkemuka menyiarkan langsung kejadian tersebut. Padahal, dari pengalamannya sebagai jurnalis televisi, paling tidak butuh waktu antara 20-30 menit untuk menyiapkan peralatan siaran langsung di lapangan.

Namun demikian, dari hitungannya, siaran langsung ini sudah bisa mengudara dalam tempo kurang dari 18 menit. ''Ini sulit dimengerti, kecuali mereka sudah mengetahui bakal terjadinya peristiwa itu terlebih dulu.''

Selain itu, banyak kejanggalan lagi ditemukan. Selanjutnya, temuannya tersebut dia rangkum dan dituangkan dalam buku pertamanya yang berjudul The Hard Evidence Expose! The Real Truth 9-11 yang terbit sekitar tahun 2004.

Tak dinyana, buku ini segera menarik perhatian khalayak. Jerry pun banyak menerima undangan sebagai pembicara untuk menjelaskan seputar temuannya itu. Dia sibuk berkeliling dari masjid ke masjid dan majelis taklim di seputar Jabodetabek.

Sejak itu, kegiatannya menulis buku kritis semakin gencar. Berturut-turut, hadirlah buku Dosa-dosa Media Amerika (2006), Demokrasi Barbar ala Amerika (2007), American Shadow Government: Pemerintah Bayangan Amerika (2008), serta yang terbaru Deadly Mist: Upaya Amerika Merusak Kesehatan Dunia (2009).

Buku-bukunya amat kritis terhadap AS. Jerry mengakui, sikap kritisnya itu bisa saja membahayakan dirinya. Namun, dia telah siap dengan segala konsekuensinya. ''Niat saya adalah memberikan informasi serta membantu jutaan manusia di dunia dan juga keinginan serta kebutuhan orang banyak,'' tandas Jerry.

Maka, dalam hal ini, lanjutnya, dirinya sama sekali tidak berarti dibandingkan nyawa jutaan manusia lain. ''Saya mencari ridha dan perlindungan hanya dari Allah SWT,'' ungkapnya lagi.

Pantang menyerah
Ada hikmah yang dia petik setelah menjadi seorang Muslim, yakni jangan pernah berhenti belajar agama meski hingga akhir hayat. Prinsipnya, setiap Muslim harus memeluk agama Islam dengan sebenar-benarnya, terutama dalam melaksanakan segala ketentuan Allah.

Karena itulah, dia rela memendam keinginannya untuk kembali berkecimpung di dunia bawah air lagi. Jerry berharap dapat membuat film dan foto bawah laut, tapi kali ini dalam perspektif Islam.

''Saat ini, Allah SWT mungkin memberi petunjuk agar saya tetap aktif menulis dan berdialog dengan umat. Insya Allah, nanti di akhirat, saya bisa menemukan laut yang lebih indah,'' papar Jerry. yusuf assidiq/kem


Biodata
Nama : Jerry D Gray
Kelahiran : Wiesbaden, 24 September 1960
Karier :
- mekanik pesawat AU AS
- instruktur selam
- kamerawan freelance CNBC Asia
Nama istri : Ratna Komala
Nama anak : Adam

sumber: Republika

BACA SELENGKAPNYA ..... ----->>>>> Jerry Duane Gray, Tersentuh Sikap Toleran

Tilawah Alquran


By Republika Newsroom
Jumat, 15 Mei 2009 pukul 11:30:00

Tilawah Alquran artinya bacaan atau pembacaan Alquran. Dalam ilmu qiraah, pembacaan Alquran itu ada bermacam-macam lahjah (bunyi suara atau bacaan). Hal ini karena sahabat Nabi SAW yang menerima bacaan Alquran terdiri dari beberapa golongan dan setiap golongan memiliki lahjah masing-masing, dan juga konsekuensi dari kebiasaan membaca Alquran yang lebih dari satu macam bacaan.

Namun, Ibnu Mujahid, seorang ulama qiraah dari Baghdad, meneliti bacaan yang ada menyimpulkan bahwa ada tujuh macam bacaan yang dapat diterima. Ketujuh macam bacaan ini dipelopori oleh tujuh imam, yaitu Abdullah bin Amir asy-syami, Ibnu Kasir al-Makki, Asim al-Kufi, Abu Amr al-Basari, Nafi'al-Madani, Hamzah az-Zaiyat, dan Abul Hasan Ali al-Kufi.

Setiap orang Muslim yakin bahwa membaca Alquran termasuk amal yang mulia dan akan mendapat pahala berlipat ganda. Alquran adalah sebaik-baiknya bacaan bagi orang Muslim. Hal ini seperti sabda Rasulullah SAW, ''Sebaik-baik di antara kamu, orang yang belajar Alquran dan mengajarkannya.'' (HR at-Tarmizi dari Ustman bin Affan)

Membaca Alquran itu bukan saja menjadi amal ibadah. Akan tetapi dapat juga menjadi obat dan penawar bagi orang yang gelisah jiwanya.

Menurut ajaran Islam, membaca dan mendengarkan Alquran merupakan ibadah dan amal yang mendatangkan pahala dan rahmat. Anjuran untuk mendengarkan bacaan Alquran disebutkan dalam surah al-A'raf aayat 204, yang artinya, ''Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapatkan rahmat.''

Sebagian ulama mengatakan bahwa mendengarkan orang membaca Alquran, pahalanya sama saja dengan orang yang membacanya. Rasulullah SAW bersabda, ''Terangilah rumah-rumah kalian dengan shalat dan membaca Alquran.'' (HR al-Baihaki dari Anas RA)

Alquran sebagai kitab suci dan wahyu Ilahi, mempunyai tata cara bagi orang yang membacanya. Tata cara itu sudah diatur dengan baik untuk penghormatan dan keagungan Alquran. Setiap orang harus berpedoman pada tata cara tersebut.

Imam al Ghazali, pemikir, teolog, filosof, dan sufi termasyhur, di dalam kitabnya Ihya 'Ulum ad-Din (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), menjelaskan bagaimana adab membaca Alquran. Imam al Ghazali membaginya menjadi adab yang bersifat batin dan bersifat lahir.

Adab yang bersifat batin diperinci menjadi arti memahami asal kalimat, cara hati membesarkan kalimat Allah SWT, menghadirkan hati di kala membaca sampai ke tingkat memperluas dan memperhalus perasaan dan membersihkan jiwa. Dengan begitu, kandungan Alquran yang dibaca dengan perantaraan lidah, dapat bersemi dalam jiwa dan meresap ke dalam hati sanubarinya.

Sedangkan tentang adab lahir membaca Alquran, antara lain berwudhu lebih dulu sebelum membaca Alquran, membaca Alquran di tempat yang bersih, menghadap ke kiblat, membaca Alquran dengan mulut dalam keadaan bersih tidak berisi makanan, membaca ta'awud lebih dulu, membaca Alquran dengan tartil (pelan dan tenang), membaca Alquran dengan benar-benar meresapi maksudnya, dan membaca Alquran dengan suara yang bagus dan merdu.

yus/disarikan dari buku Ensiklopedi Islam terbitan PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta.

sumber: Republika

BACA SELENGKAPNYA ..... ----->>>>> Tilawah Alquran

Masjid Menara Kudus Hadir dari Dakwah Bil-Hikmah

By Republika Newsroom
Senin, 18 Mei 2009 pukul 10:03:00

Masjid Menara Kudus Hadir dari Dakwah Bil-Hikmah

Kunci sukses dakwah Sunan Kudus terletak pada kemampuannya melakukan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat yang sudah punya budaya mapan.


Dari sekian masjid bersejarah di Indonesia, Masjid Menara Kudus (Jawa Tengah) punya keunikan tersendiri. Sebuah menara mirip candi berdiri anggun di sebelah kiri depan masjid. Banyak masyarakat awam, bahkan para arkeolog yang bertanya-tanya, bagaimana elemen masjid mengadopsi model bangunan tempat ibadah umat Hindu dan Buddha.

Tidak hanya menara, bangunan-bangunan di sekeliling masjid juga banyak yang mirip dengan bangunan candi. Gapura di depan masjid yang tersusun dari batu bata tanpa semen tidak lain merupakan ciri khas candi di Jawa Timur. Ada juga pancuran untuk wudhu yang berjumlah delapan. Di atas pancuran itu diletakkan arca. Jumlah delapan pancuran, konon mengadaptasi keyakinan Buddha, yakni 'Delapan Jalan Kebenaran' atau Asta Sanghika Marga.

Menara menjadi elemen masjid yang paling menonjol. Sehingga, masjid yang semula bernama Masjid Al-Aqsa itu kemudian terkenal dengan Masjid Menara Kudus. Percampuran yang begitu mencolok antara ciri-ciri kebudayaan Hindu-Buddha dengan Islam memunculkan banyak cerita seputar awal mula berdirinya masjid. Ada cerita yang bersumber dari sejarah, namun tak sedikit pula yang bernuansa mitos.

Cerita tersebut, baik sejarah maupun mitos itu, sejatinya ingin menjelaskan bagaimana sang pendiri masjid, Sunan Kudus, melakukan dakwah Islam secara bijaksana (hikmah). Hasil dakwahnya sangat luar biasa. Penduduk setempat yang dahulunya pemeluk taat ajaran Hindu-Buddha, beralih memeluk ajaran tauhid (Islam). Kunci sukses Sunan Kudus terletak pada kemampuannya melakukan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat yang sudah punya budaya mapan.

Sunan Kudus dikenal sebagai seorang ahli agama, terutama dalam disiplin ilmu tauhid, hadis, dan fikih. Dari sembilan wali yang diakui di Tanah Jawa, hanya beliau yang bergelar 'Waliyyul Ilmi' (wali yang berpengetahuan luas).

Konon, Sunan Kudus sangat menghormati tradisi keagamaan yang berlaku di masyarakat Loaram--nama lama Kota Kudus. Ada sebuah tradisi keagamaan yang begitu mengakar kuat, yaitu larangan menyembelih sapi. Bagi masyarakat Hindu, menyembelih sapi adalah tindakan terlarang, tidak boleh secara agama. Untuk menghormati tradisi agama yang sudah berlaku itu, Sunan Kudus pun melarang pengikutnya menyembelih sapi.

Suatu ketika Sunan Kudus mengikat sapi di pekarangan masjid. Setelah umat Hindu datang ke pekarangan itu, Sunan Kudus menyampaikan nasihat keagamaan. Model dakwah sang Sunan yang demikian itu sangat menggugah kesadaran keagamaan banyak orang. Mereka pun berbondong-bondong beralih keyakinan menjadi Muslim.

Kenang-kenangan dari Yerusalem
Islamisasi masyarakat Kudus diwarnai dengan pencampuran warisan budaya Hindu-Buddha dengan nilai-nilai Islam. Di samping melestarikan tradisi-tradisi, Sunan Kudus juga memelihara simbol-simbol budaya lama. Tujuannya agar nilai-nilai Islam dapat diterima masyarakat tanpa menimbulkan gejolak sosial.

Warisan budaya benda yang paling penting dalam tradisi Hindu-Buddha adalah candi. Contoh terbaik percampuran budaya lokal dengan nilai-nilai Islam dapat dilihat dari menara masjid.

Di balik bangunan berbentuk candi itu, terpendam sebuah kisah pendirian masjid yang hingga saat ini dipercaya kebenarannya oleh masyarakat luas. Masjid dan namanya, Masjid Al-Aqsa, berkaitan erat dengan kota para nabi di Timur Tengah, yaitu Bait Al-Maqdis, atau Al-Quds di Yerusalem.

Suatu ketika Syekh Ja'far Shadiq (Sunan Kudus) berada di Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Wabah penyakit kudis tiba-tiba merajalela di tanah suci itu. Segala upaya pencegahan telah dilakukan, namun tidak ada hasilnya. Akhirnya, Amir (penguasa) Makkah meminta Syekh Ja'far Shadiq turun tangan mencegah wabah penyakit yang kian hari kian mengganas.

Singkat cerita, Syekh Ja'far Shadiq berhasil menghentikan merebaknya penyakit kudis itu. Amir Makkah kemudian bermaksud memberinya hadiah, namun beliau menolak. Beliau hanya meminta jika berada di Palestina agar diizinkan mengambil sebuah batu dari Bait Al-Maqdis. Amir Makkah pun mengizinkan. Ketika pulang ke Jawa, Syekh Ja'far Shadiq membawa batu itu dan dijadikan batu pertama dalam pembangunan masjid yang diberi nama Masjid Al-Aqsa.

Masjid Al-Aqsa atau Masjid Menara Kudus didirikan pada 956 H atau 1549 M. Hal itu dapat diketahui dari inskripsi di atas mihrab masjid yang ditulis dalam bahasa Arab. Sayangnya, tulisan pada inskripsi itu sudah sulit dibaca karena banyak huruf yang rusak. Konon, batu inskripsi itulah yang dibawa oleh Sunan Kudus dari Yerusalem. Lebarnya 30 sentimeter dan panjangnya 46 sentimeter.

Pada awal pembangunannya, tinggi Masjid Menara Kudus hanya 13,25 meter. Setelah direnovasi, tingginya menjadi 17,45 meter. Kemudian pada 1925 M, di bagian depan ditambah bangunan baru berupa serambi. Penambahan ruang masjid terus dilakukan seiring dengan bertambah banyaknya jumlah jamaah.

Pada 5 November 1933 M, sebuah serambi dibangun kembali di depan serambi sebelumnya. Dengan demikian, Kori Agung atau Lawang Kembar (pembatas ruang yang terbuat dari kayu ukir) yang dahulu berada di serambi kini di dalamnya. Di atas serambi yang baru itu terdapat kubah besar bergaya arsitektur India.

Di sekelilingnya dihiasi tulisan kaligrafi Arab yang memuat nama-nama sahabat Nabi SAW, seperti para Khulafaurrasyidin, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Abdurrahman bin 'Auf. Termaktub juga nama-nama empat ulama mazhab ternama, yaitu Imam Hanafi, Hambali, Syafi'i, dan Malik.

Masjid Al-Aqsa atau Masjid Menara Kudus ini terletak di Desa Kauman, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah. Letak Masjid Menara Kudus ini cukup dekat dengan pusat Kota Kudus (alun-alun kota), yaitu berjarak sekitar 1,5 kilometer ke arah barat. rid/berbagai sumber


Keunikan Menara Kudus

Denys Lombard pernah menulis bahwa Kota Kudus mengambil nama dari Al-Quds, nama lain dari Yerusalem yang artinya kota suci. Di kota inilah Masjid Menara Kudus berdiri. Keberadaannya melambangkan secara visual peralihan kepercayaan masyarakat dari Hindu-Buddha ke Islam.

Kalau dicermati secara saksama, bentuk menara masjid sangat mirip dengan candi. Banyak pengamat memberikan komentar seputar bentuk menara yang unik itu. Ada yang mengatakan bentuknya mirip dengan candi-candi di Jawa Timur pada masa Majapahit dengan penambahan beberapa bagian sesuai dengan fungsinya.

Ada pula yang berpendapat, beberapa gapura di sekitar menara yang bentuknya mirip bangunan kulkul di Bali, mengindikasikan menara itu tidak hanya dipengaruhi candi-candi di Jawa Timur. Di dalam kulkul terdapat kentungan yang dipukul untuk menyampaikan informasi kepada penduduk sekitar.

Hal yang sama juga terdapat di Menara Kudus. Di bagian atas menara ini, diletakkan bedug dan kentungan yang dipukul sebagai tanda datangnya waktu-waktu tertentu. Pendapat yang kedua ini menegaskan bahwa Menara Kudus terpengaruh oleh arsitektur Hindu Bali.

Ada elemen lain yang membuat bangunan berbentuk candi itu bertambah unik, yaitu bagian kepala menara yang berbentuk atap tumpang atau tajuk dari kayu jati dengan empat saka guru yang menopangnya. Itu adalah atap khas rumah Jawa-Hindu yang setelah diadaptasi oleh ajaran Islam mengandung makna iman, Islam, dan ihsan. rid


Sunan Kudus dan Sang Guru dari Negeri Cina

Menceritakan sejarah berdirinya Kota Kudus, rasanya tak lengkap tanpa menyebut nama seorang tokoh legendaris asal Cina yang bernama The Ling Sing. Orang Jawa biasanya menyebutnya Kiai Telingsing. Tokoh ini tidak lain adalah guru Sunan Kudus. Makamnya terletak di dekat Masjid Kyai Telingsing di Kampung Sunggingan, Kudus.

Sayangnya, tidak ada sumber sejarah yang memadai tentang tokoh ini, kecuali beberapa lembar catatan tentangnya yang disimpan oleh Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, Kiai Telingsing adalah tukang kayu keturunan Tionghoa. Beliau turut menyebarkan agama Islam di Kudus bersama Sunan Kudus.

Ada cerita menarik tentang kisah hidup Kiai Telingsing dengan Sunan Kudus yang ditulis di atas selembar kertas bertanggal 5 Februari 1974 dan beralamat di Sunggingan 156, Kudus. Alkisah, pada suatu hari The Ling Sing muda sedang bermain layang-layang. Tiba-tiba ia berhasrat pergi ke Nusantara. Maka, ia memanjat benang layang-layangnya itu.

Ketika The Ling Sing sudah dewasa, ayahnya berkata kepadanya, ''Kalau engkau ingin menjadi orang baik di dunia dan akhirat, engkau harus pergi ke Nusantara, karena saya pernah hidup di sana.'' Maka, berangkatlah The Ling Sing ke Nusantara dan tiba di Kudus. Kemudian, ia melakukan dakwah Islam.

Setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit pada 1478 M, Raden Patah mengambil alih kekuasaan dan mendirikan Kerajaan Demak. Pada suatu hari, semua wali bermusyawarah dan memutuskan mengangkat Ja'far Shadiq sebagai Sunan Kudus. Sejak saat itu, sang Sunan berdakwah di Kudus dan bertemu dengan The Ling Sing (Kiai Telingsing) yang telah lebih dulu berdakwah di daerah itu.

Dengan strategi yang baik, akhirnya mereka berdua berhasil mengislamkan seluruh penduduk Kudus. Berita tentang keberhasilan mereka didengar oleh semua wali, yang kemudian segera datang ke Kudus dan memutuskan Sunan Kudus sebagai wakil resmi Kesultanan Demak di Kudus.

Pada suatu hari, ketika Sunan Kudus menjamu tamu-tamunya dari Tiongkok, beliau meminta Kiai Telingsing membuatkan hadiah yang pantas. Dia lalu membuat kendi yang hiasannya terletak di bagian dalam. Ketika Sunan Kudus melihat kendi yang tampak tidak istimewa, beliau marah dan membanting kendi itu ke tanah.

Kendi itu pun terbelah. Setelah Sunan Kudus melihat hiasan kaligrafi indah dalam kendi yang sudah pecah itu, barulah beliau menyadari kepandaian Kiai Telingsing. Sunan Kudus pun sadar, meskipun beliau punya pengetahuan agama yang tinggi, namun Kiai Telingsing tetap menjadi gurunya dalam hal kewalian.
rid/taq

sumber: Republika

BACA SELENGKAPNYA ..... ----->>>>> Masjid Menara Kudus Hadir dari Dakwah Bil-Hikmah

Beku

By Ahmad Syafii Maarif
Senin, 18 Mei 2009 pukul 08:21:00

Beku
Tujuh abad yang lalu Jalaluddin al-Rumi (1207-1273), penyair sufi dari Balakh, guru spiritual Iqbal, pernah berucap, ''Tanpa cinta, dunia akan membeku.'' Ungkapan sufistik ini dirasakan kebenarannya sepanjang abad, terutama pada saat gelombang materialisme ateistik mendominasi perjalanan sejarah umat manusia, seperti yang kita alami di abad kegalauan sistem nilai ini. Dalam kehidupan modern, cinta itu memang belum redup sama sekali, sebab masih ada anak manusia di berbagai pojok bumi yang setia menyalakan lilin cinta itu, tapi radius cahayanya hanyalah menerangi lingkungan yang sangat terbatas. Dalam skala hubungan antarbangsa, antarperadaban, sumbunya bukan lagi cinta, tapi kepentingan ekonomi, kepentingan pasar. Uang telah menentukan segala-galanya; uang telah menjadi agama.

Dalam iklim yang serba panas dan kasar itu, agenda tentang keadilan, hak-hak asasi manusia, persaudaraan universal, saling menghormati, dan nilai-nilai lain yang berpadanan dengan itu semua, hanyalah ada di atas kertas atau dalam kemasan retorika yang menyesatkan. PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang semula diharapkan akan mampu menciptakan perdamaian semesta yang abadi, dalam perjalanan sejarahnya badan ini sering benar menjadi alat pihak yang kuat untuk meneruskan penindasan atas pihak yang lemah. Lihatlah bagaimana nasib Irak, nasib Palestina, dan nasib negara-negara kecil yang menjadi bola permainan kepentingan ekonomi itu. Alexander Solzhenitsyn dalam Kuliah Nobelnya pada 1972 melontarkan kritik keras kepada badan dunia ini. Katanya, ''Seperempat abad yang lalu, dengan harapan kemanusiaan yang teramat besar, PBB dilahirkan. Sayang, dalam dunia yang tidak bermoral, badan ini juga sudah tidak bermoral.''

Sosok manusia seperti Solzhenitsyn-lah yang benar-benar melihat bahwa PBB tidak berfungsi efektif sesuai dengan piagamnya dan bahkan telah menjadi alat penindas, sementara negara-negara besar tetap saja menggunakan badan ini untuk melangsungkan politik imperialismenya yang secara formal telah dikubur itu. Tampaknya umat manusia masih memerlukan waktu panjang untuk mengaktualisasikan jeritan kemanusiaannya, menerobos kebekuan dan ketumpulan nurani yang sudah ada bersama kita sejak abad ke-16, abad kelahiran renaisans di Eropa. Renaisans degnan dukungan ilmu dan teknologi di samping sisi-sisinya yang positif, juga telah melahirkan manusia rakus, berhati beku, manusia yang mencoba melupakan Sang Pencipta. Alquran surat al-Hasyr ayat 19 melukiskan betapa akutnya situasi ini: Dan janganlah kamu ibarat mereka yang melupakan Allah, dan Allah pun menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.

Si fasik adalah orang yang menggunakan potensi kemanusiaannya untuk tujuan-tujuan destruktif. Dengan persenjataan yang serba canggih, kehancuran yang dapat menimpa peradaban tidak terbayangkan akibat dahsyatnya. Kita tidak tahu di antara hampir 6 miliar penduduk bumi, berapa persen yang berada dalam kategori fasik itu. Allahu A'lam. - ahi

sumber: Republika
BACA SELENGKAPNYA ..... ----->>>>> Beku

Peralatan Laboratorium Warisan Peradaban Islam

By Republika Newsroom
Kamis, 14 Mei 2009 pukul 13:59:00

Peralatan Laboratorium Warisan Peradaban Islam

Peradaban Islam di era keemasan menguasai beragam ilmu pengetahuan, salah satunya adalah kimia. Para sejarawan sains mengakui bahwa ilmu kimia merupakan anak kandung dari peradaban Islam. ''Ahli kimia Muslim adalah pendiri ilmu kimia," tutur Will Durant dalam The Story of Civilization IV: The Age of Faith.

Ilmuwan berkebangsaan Jerman di abad ke-18 M itu mengakui bahwa ilmu kimia hampir sepenuhnya diciptakan peradaban Islam. "Dalam bidang ini (kimia), peradaban Yunani (seperti kita ketahui) hanya sebatas melahirkan hipotesis yang samar-samar," ungkap Durant.

Para kimiawan Muslim di era kekhalifahan telah meletakan dasar-dasar kimia modern yang sangat bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Betapa tidak, para kimiawan Muslim telah berhasil menemukan sederet zat atau senyawa kimia yang sangat penting, sepertil asam klorida, asam nitrat, asam sitrat, asam asetat, alkohol, larutan aqua regia (dengan menggabungkan asam klorida dan asam nitrat) untuk melarutkan emas.

Selain itu, para ahli kimia Muslim juga telah memperkenalkan proses dasar sublimasi, penguapan, pencairan, kristalisasi, pembuatan kapur, penyulingan, pencelupan, pemurnian, sematan (fixation), amalgamasi, dan oksidasi-reduksi. Semua penemuan itu tentunya didukung dengan peralatan laboratorium yang canggih, pada zamannya.

Para ahli kimia Muslim pada golden age juga telah mewariskan sederet peralatan laboratorium yang hingga kini masih tetap digunakan. Saintis Muslim seperti; Jabir Ibnu Hayyan alias Geber, al-Khazini, al-Biruni, Ibnu Sina, dan Muhammad ibnu Zakariya al-Razi telah menciptakan beragam peralatan laboratorium yang sangat penting bagi pengembangan ilmu kimia.

Sejumlah peralatan laboratorium yang diwariskan para ilmuwan Muslim itu antara lain, alembic, conical measure, hidrostatic balanca, teelyard, laboratory flask, pycnometer, refrigerated coil, refrigerated tubing, termometer, air termometer, peralatan untuk mengolah obat-obatan dan peralatan untuk melelehkan zat-zat atau bahan-bahan kimia.

Alembic
Merupakan alat penyulingan yang terdiri dari dua tabung yang terhubung. Tabung kimia ini pertama kali ditemukan Jabir Ibnu Hayyan (721 M - 815 M). Sejarawan sains memperkirakan, Jabir menemukan alat iitu pada abad ke-8 M. "Ini merupakan alat penyulingan pertama," papar Durant. Ensiklopedia Hutchinson, menyebut alembic sebagai alat penyulingan pertama yang digunakan untuk memurnikan seluruh zat kimia.

Conical Measure (Tabung Ukur)
Marshall Clagett dalam karyanya The Science of Mechanics in the Middle Ages, mengatakan, conical measure merupakan peralatan laboratorium yang ditemukan Abu Raihan al-Birunii( 973 M- 1048 M) pada abad ke- 11 M. M Rozhanskaya and IS Levinova dalam tulisannya bertajuk Statics juga menyatakan bahwa conical measure pertama kali ditemukan al-Biruni.

Dalam Wikipedia dijelaskan bahwa conical measure adalah salah satu peralatan laboratorium yang terbuat dari bahan kaca berupa sebuah cangkir berbentuk kerucut dengan torehan di atasnya yang berfungsi untuk memudahkan penuangan cairan. Di bagian samping terdapat tanda-tanda ukuran untuk mengukur isi cairan.
Hydrostatic Balance dan Steelyard

Robert E Hall dalam karyanya berjudul Al-Khazini: Dictionary of Scientific Biography, mengungkapkan, bahwa hydrostatic balance (keseimbangan hidrostatis) dan Steelyard (timbangan gantung) ditemukan Al-Khazini yang memiliki nama lengkap Abd al-Rahman al-Khazini (1115 M –1130 M) pada 1121 M.

Laboratory Flask
Menurut Robert E Hall Laboratory Flask atau Botol Laboratorium pertama kali diperkenalkan al-Biruni. Botol atau termos laboratorium itu biasanya terbuat dari kaca bening. Botol itu digunakan untuk menampung cairan yang akan digunakan atau diuji di laboratorium. Selain itu, alat ini juga digunakan untuk mengukur isi bahan kimia, mencampur, memanaskan, mendinginkan, menghancurkan, mengendapkan, serta mendidihkan (dalam penyulingan) zat-zat kimia.

Pycnometer
Pycnometer merupakan peralatan laboratorium yang digunakan untuk mengukur berat jenis atau volume caiaran secara akurat. Alat ini juga ditemukan al-Biruni. Hingga kini, peralatan laboratorium yang diwariskan peradaban Islam itu masih digunakan.

Refrigerated coil and Refrigerated Tubing
Menurut Vicki Pitman dalam karyanya bertajuk Aromatherapy: A Practical Approach, Nelson Thornes, pada abad ke-11 M, Ibnu Sina telah menemukan refrigerated coil atau lingkaran pendingin yang berfungsi untuk, yang memadatkan uap wangi. Richard Myers, dalam bukunya The Basics of Chemistry, Greenwood Publishing Group juga mengakui bahwa lingkaran atau tabung pendingin itu pertama kali diperkenalkan Ibnu Sina .

"Ini merupakan sebuah terobosan dalam teknologi penyulingan dan Ibnu Sina menggunakannya dalam proses penyulingan dengan uap air panas, yang membutuhkan tabung pendingin untuk memproduksi minyak esensial," papar Marlene Ericksen dalam karyanya Healing with Aromatherapy.

Termometer
Robert Briffault dalam bukunya The Making of Humanity, menjelaskan bahwa termometer ditemukan oleh Ibn Sina (980 M - 1037 M) pada abad ke-11 M.. Termometer adalah sebuah alat untuk mengukur temperatur/suhu dengan berbagai jenis prinsip yang berbeda.

Peralatan untuk Pengolahan Obat-obatan
Georges C Anawati, dalam karyanya Arabic alchemy, mengungkapkan, al-Razi) merupakan penemu pertama peralatan untuk pengolahan obat-obatan. "Muhammad ibnu Zakariya Razi (Rhazes) adalah orang pertama yang menjelaskan peralatan untuk pengolahan obat-obatan,'' tuturnya.

Peralatan untuk Melelehkan Bahan
Al-Razi dalam Secretum secretorumnya, menjelaskan beberapa peralatan yang dibuatnya untuk melelehkan zat kimia (li-tadhwib). Itulah beberapa peralatan laboratorium yang diwariskan para ilmuwan Muslim bagi pengembangan sains modern. Kontribusi ilmuwan Muslim sungguh begitu besar bagi kemajuan peradaban manusia.

Karya-karya yang mereka ciptakan mampu mengubah dunia. Tanpa kontribusi dan jasa mereka, barangkali dunia tak akan maju seperti sekarang ini. Berkat peralatan laboratorium itu, peradaban manusia mampu melakukan revolusi di bidang kimia, fisika dan farmasi.


Sang Penemu Peralatan Laboratorium

* Jabir Ibnu Hayyan
Jabir Ibnu Hayyan ditabalkan sebagai ''Bapak Kimia Modern''. Dalam bidang kimia, prestasi dan pencapaiannya terekam dengan baik lewat buku-buku yang ditulisnya. Tak kurang dari 200 buku berhasil ditulisnya.

Sebanyak 80 judul buku di antaranya mengupas hasil-hasil eksperimen kimia yang dilakukannya. Buku-buku itu sungguh amat berpengaruh hingga sekarang. Secara khusus, ia mendedikasikan sekitar 112 buku lainnya bagi Barmakid, sang guru, yang juga pembantu atau wazir Khalifah Harun ar-Rasyid.

Buku-buku itu ditulis dalam bahasa Arab. Pada abad pertengahan, orang-orang Barat mulai menerjemahkan karya-karya Jabir itu ke dalam bahasa Latin, sehingga menjadi rujukan para ahli kimia di Eropa. Tak kurang dari 70 buku karya Jabir telah ialihbahasakan ke dalam bahasa Latin pada abad pertengahan.

Salah satu yang terkenal adalah Kitab al-Zuhra yang diterjemakan menjadi Book of Venus, serta Kitab al-Ahjar yang dialihbahasakan menjadi Book of Stones.

* Al-Razi
Terlahir di Rayy, Provinsi Khurasan dekat Teheran tahun 864 M, al-Razi dikenal sebagai seorang dokter dan ahli kimia yang hebat. Sejatinya, ilmuwan Muslim yang dikenal Barat sebagai Rhazes itu bernama lengkap Abu Bakar Muhammad ibnu Zakariya. Al-Razi muda yang dikenal amat gemar memainkan harpa sudah mulai jatuh hati pada ilmu kimia.

Ia menimba ilmu dari Ali ibnu Rabban al-Tabari (808 M) — seorang dokter sekaligus filosof. Sang gurulah yang telah melecut minat Rhazes untuk menekuni dua bidang ilmu yakni kedokteran dan filsafat. Hingga kelak, dia menjadi seorang filosof, dokter dan ahli kimia yang amat populer di zamannya.

Al-Razi merupakan ilmuwan yang sangat produktif. Tak kurang dari 200 buku berhasil dituliskannya. Kitabnya yang paling terkenal dan fenomenal adalah Kitab Al Mansur, Kitab Al Hawi, Kitab Al Asrar atau ‘Kitab Rahasia’. hri/des

sumber: republika

BACA SELENGKAPNYA ..... ----->>>>> Peralatan Laboratorium Warisan Peradaban Islam